My Coldest CEO

31| Memories vs Reality



31| Memories vs Reality

0Ada yang patah, tapi bukan ranting. Kali ini, bukan hatinya saja yang hancur melainkan raganya yang terasa melayang jauh, menguap sampai dasar langit yang menciptakan rasa sakit terdalam.     

Azrell melempari semua bingkai foto yang berada di dalam kamarnya, membantingnya ke lantai membuat kacanya pecah berkeping-keping. Ia mendengus kesal saat tahu siapa yang foto bersama dirinya hampir di setiap sudut ruangan.     

Ia menyesal pernah baik kepada seseorang, sebaik itu sampai dirinya merasa benar-benar di khianati. Kalau boleh mengeluh pada takdir, ia akan melakukannya. Untuk apa baik dengan seseorang yang tidak tahu diri?     

'Tapi kan Leo sudah tidak ada hubungan sama sekali dengan dirimu.'     

Tidak-tidak, bagi Azrell mereka tetap menjadi satu. Walau hanya saja sedang saling beristirahat dan memperbaiki masing-masing diri. Bedanya, Azrell masih kekeh mencintai Leo, tapi laki-laki tersebut semakin sibuk dengan wanita baru.     

"Brengsek, kalau tau caranya berbalas budi, pasti tidak akan melanjutkan hubungan dengan Leo. Felia sialan!" ucapnya, semua kata kasar keluar dari dirinya. Dengan tangan yang menggenggam bertumpuk foto polaroid bersama dengan Felia, ia langsung saja merawis-rawis foto tersebut sampai terlihat beberapa kepingan yang jelas.     

Memutar kejadian saat Felia berulang tahun, membuat hatinya semakin teriris perih.     

Throwback     

Langit tidak cukup bersahabat mengingat ini adalah hari spesial bagi Felia. Bayangkan saja, tadinya Azrell berniat untuk memberikan sebuah kejutan kecil untuk wanita tersebut. Membayangkan sebuah pesta malam seperti night pool party, dengan bakar-bakaran Barbeque dan saling bercengkrama satu sama lain membuat dirinya tersenyum senang. Tapi sepertinya sudah kandas rencana A, beralih ke rencana B.     

Sebuah kotak berisikan kue ulang tahun dengan dekorasi nama yang sudah diukir sempurna, membuat Azrell was-was takut kalau nanti pegangannya terlalu erat membuat bentuk kue menjadi absurd dengan cream menempel di kotaknya.     

"Duh kurang apa lagi ya?" Terakhir, kunjungan di toko kue ini malah membuat dirinya kembali berpikir takut ada yang kurang. Jam menunjukkan pukul tiga sore, yang artiannya ia pulang satu jam lebih awal daripada jadwal kepulangan karyawan yang biasanya. Ia izin pada sang atasan untuk, memberikan alasan karena ingin memberikan kejutan dihari spesial bagi seseorang yang di sayang.     

Bukan kekasih, melainkan teman yang sudah terasa seperti layaknya saudara.     

Ia menatap langit mendung, tidak ada lagi celah bagi mentari untuk tampil menyinari kota. Dengan segera, ia masuk ke dalam mobil sambil menghembuskan napasnya. "Sepertinya sudah tidak ada yang kurang deh, waktu aku masih ada tiga jam untuk mendekorasi rumah Felia." ucapnya sambil menampilkan sebuah senyuman yang sangat manis.     

Waktu kerja Felia di rumah lamanya ini berakhir sampai sang fajar mulai menggantikan posisi langit biru, mengubahku menjadi semburat jingga yang menenangkan hati.     

"Sebaiknya aku harus buru-buru,"     

...     

Menatap puas seluruh sudut ruangan yang sudah ia pasangkan rumbai-rumbai cantik, berwarna silver dan gold. Belum lagi balon berbentuk love sudah ia gantung sebagai hiasan yang terlihat sangat manis.     

Menatap layar ponselnya, ia mengecek jam dari benda pipih yang berada di genggamannya. "Udah jam setengah enam, lebih baik aku bersiap." ucapnya sambil berjalan ke arah stop kontak.     

Cahaya di ruangan ini meredup, mengisahkan ruangan yang sesak karena banyak barang, diselimuti kegelapan.     

Azrell, dengan cantiknya sudah memakai dress berwarna merah muda yang tidak terlalu mencolok, warnanya kalem. Rambut yang di sanggul dengan apik, namun kini bukannya high heels yang di pakai pada alas kakinya namun ia kali ini menggunakan flatshoes.     

Terkekeh kecil, ia tidak tahu apa yang akan menjadi penggambaran ekspresi Felia beberapa menit kemudian. Dengan cepat, ia memilih untuk berjongkok di belakang kursi makan supaya kehadirannya tidak terlalu terlihat.     

Ceklek     

"Loh kok gelap? astaga, jangan-jangan aku lupa membayar tagihan listrik bulan ini?!"     

Pekikan itu berasal dari seseorang yang ditunggu-tunggu oleh Azrell. Ceroboh, pelupa, lugu, dan terlalu jujur adalah sifat yang entah mendukung sifat positif atau justru sebaliknya. Tapi, baginya sifat wanita tersebut sangat unik dan mampu menyamakan porsi dengan sifatnya.     

Bersamaan dengan lampu yang menyala...     

"SURPRISE!"     

Azrell keluar dari tempat persembunyiannya. Ia menatap Felia dengan sorot mata berbinar, ia senang bisa membuat wanita itu mengubah ekspresi paniknya menjadi terharu sambil menutupi mulutnya.     

"Ica..." gumam Felia seakan-akan tidak menyangka karena mendapatkan kejutan yang sangat mengharukan seperti ini.     

Tubuhnya yang basah karena jalan dari mansion ke rumah sederhananya ini --yang walaupun hanya beberapa langkah saja-- tapi mampu membuat air hujan menyiramnya.     

"Selamat ulang tahun, Fe. Semoga panjang umur dan tabungan di ATM semakin banyak," ucap Azrell sambil berjalan ke arah Felia. "Tuhan memberkati mu." sambungnya.     

"Terimakasih, Ca. Aku sangat bahagia punya kamu, terimakasih banyak."     

Azrell ingin menubruk tubuhnya ke arah Felia, namun wanita di hadapannya ini mengangkat tangannya ke udara, memberikan jarak supaya dirinya tidak mendekat.     

"Eh eh jangan dekati aku, apa kamu tidak lihat seluruh tubuh ku basah?" tanya Felia sambil mengusap air mata yang jatuh ke permukaan wajahnya. Ia menyusuri tubuhnya dengan kedua tangan, memberitahukan pada Azrell kalau dirinya tidak cocok pelukable.     

Azrell menganggukkan kepalanya, "Kalau begitu.."     

Bruk     

Ia tetap menubruk tubuh Felia tanpa peduli kalau tubuh wanita tersebut yang basah ikut menjalar ke tubuhnya juga.     

Mungkin, di benak Azrell, ini adalah hari terbahagia dalam hidupnya yang tidak akan pernah terlupakan sampai kapanpun.     

Throwback off     

Azrell berdecih kasar saat mengingat hal itu, ia akan membuat seluruh barang-barangnya yang bersangkutan dengan Felia. Bisa-bisanya wanita itu mendapatkan semua yang ia inginkan disaat Leo menolak segala permintaannya yang serupa.     

Mendapat tubuh Leo yang sialnya memang sangat sexy. Juga mendapatkan seluruh kekayaan laki-laki tersebut karena sesuai dengan perkataan dia akan membawa Felia untuk tinggal bersama.     

"SIALAN!" umpatnya dengan nada keras. Membuang foto-foto polaroid yang seluruhnya sudah hancur berkeping-keping.     

Air matanya semakin meluruh, membasahi permukaan wajahnya yang sudah bebas dari sapuan make up yang memberatkan. Ini adalah malam penuh kesialan bagi dirinya. Tubuhnya kian merosot dari tepi kasur, duduk lemas di lantai yang dingin karena udara malam.     

Tidak ada acara berendam di bathtub, apalagi melakukan girl activity lainnya. Ia benar-benar, kecewa pada seseorang yang sudah ia anggap sebagai adik sendiri.     

Ingin protes, ingin mengatakan pada seluruh dunia kalau ia masih membutuhkan Felia. Namun lagi-lagi kenyataan menampar dirinya. Tidak ada lagi seseorang yang menjadi temannya, kecuali diri sendiri. Ia, kembali hidup tanpa adanya seorang teman, tempat berkeluh kesah.     

Menjambak rambutnya sendiri, berharap pening di kepalanya menguap. Namun yang ada, hatinya semakin teriris mengingat banyak kenangan manis bersama Felia yang hampir tanpa adanya celah pertengkaran.     

Drtt ...     

Drtt ...     

Drtt ...     

Azrell tersentak kala mendengar suara panggilan telepon, ia langsung saja mengulurkan tangannya untuk meraih ponsel di atas nakas. Setelah mendapatkannya, sorot mata yang sendu itu menjadi berapi-api kembali. Ia pikir, Mommy dan Daddy-nya yang menghubungi.     

Mencoba untuk tenang, tangannya segera menggeser tombol hijau bergagang telepon ke atas, menyambungkan panggilan dengan dirinya.     

"Hai, Azrell. Bagaimana kabar mu? euhm aku ingin meminta maaf, rasanya sangat beda jauh dari diri mu." ucap seseorang di seberang sana.     

Azrell mengusap air matanya, tapi percuma karena sedetik kemudian kristal bening tersebut muncul kembali. Menarik sebuah senyuman miring, ia terkekeh kecil. "Beda ya? beda atau kamu mengatakan seolah-olah 'selamat tinggal karena saat ini aku tinggal seperti di kerjaaan' iya kan? gak usah munafik." ucapnya dengan nada sinis.     

Masa iya ada wanita yang merasa tidak enak setelah menang dan terpilih oleh laki-laki yang menjadi pemicu?     

"Tapi Azrell, aku benar-benar merasakan hal itu. Apa kamu tidak?" ucap Felia di seberang sana. Mungkin saat ini tatapannya sudah sendu karena apa yang dirasakannya saat ini bukanlah perpisahan yang biasa saja.     

Azrell terkekeh ringan, seperti menyepelekan ucapan Felia. "Tentu saja tidak, bagiku jalang tetap jalang." ucapnya dengan memberikan penekanan di setiap kata yang terucap.     

"Tapi aku tidak merebut Leo dari siapapun, Azrell. Dia sendiri yang datang pada ku, aku tidak tahu menahu."     

"Lagi-lagi, sembunyi di balik wajah polos, huh? bukankah lebih baik wanita seperti ku tanpa topeng dan sifatnya sudah pasti apa adanya?"     

Terdengar tarikan napas dari seberang sana. "Aku gak sembunyi di mana-mana, Azrell. Kenapa ego mu sangat tinggi dan selalu menyudutkan diri ku kalau kamu yang tersakiti dan aku yang paling jahat di sini?"     

"Ya kamu gak sadar?"     

"Tidak, Azrell. Hentikan apapun kalimat yang akan kamu katakan selanj--"     

"Oh iya, jalang gak akan ngakuin kesalahannya. Kalau aku anggap kamu sebagai adik dan sudah memberikan segalanya untuk kamu tanpa pamrih, apa ini imbalan yang paling setimpal untuk ku?"     

"Bukan beg--"     

"SIALAN!"     

Azrell yakin 100% kalau wanita itu berada di dekatnya, ia akan menjebak rambut tersebut untuk menyalurkan betapa sakit yang tidak sebanding.     

"Azrell, tenang... jangan cuma karena laki-laki kita menjadi bertengkar seperti ini. Aku sama kamu bukan anak kecil lagi, iya kan? jadi mohon untuk bersikap dewasa."     

Berdecih, Azrell sangat tahu mana kalimat yang tulus di katakan dan mana kalimat bullshit. "Iya, kita memang bukan anak-anak. Tapi kalau bersikap dewasa, sepertinya tingkah ku sudah tepat. Tidak ada yang perlu didewasakan saat orang yang di sayang sudah mengambil kebahagiaannya."     

"Kalau begitu, aku tidak akan berdekatan dengan Leo lagi. Ambil saja laki-laki itu untuk diri mu,"     

"Tapi saya sudah tidak ingin dengan barang bekas,"     

Nada bicara yang semula halus dan lembut milik Felia, kini sudah berganti menjadi suara bariton yang terdengar dingin menghujam. Siapa lagi kalau bukan Leo yang sudah mulai muak dengan drama milik Azrell?     

"Leo, aku sayang sama kamu.." nada bicara Azrell berubah menjadi lirihan. Yang tadinya emosi meletup-letup, kini sirna hanya karena suara dari seseorang yang ia sayang.     

Kalau waktu boleh di putar, ia akan menerima ketulusan cinta. Bukan menerima tumpukan kekayaan tanpa imbalan kasih sayang yang berujung kandas seperti ini.     

"Jangan mengemis seolah-olah di dunia ini tidak ada laki-laki lain selain saya, Azrell. Tuhan menciptakan derajat wanita lebih tinggi, tapi dengan cara seperti ini kamu seolah-olah merendahkan diri hanya untuk cinta."     

Sepertinya ponsel sudah terambil alih oleh Leo.     

Mendengar ucapan tersebut yang menghujam sampai ulu hati Azrell, membuat wanita itu menampilkan smirk di permukaan wajahnya. "Dan Tuhan menciptakan laki-laki untuk menghargai seorang wanita, tapi kamu membuat aku harus mengemis-ngemis kasih seperti ini. Derajat mu lebih rendah daripada aku, Leo."     

"Kalau begitu, saya bukan laki-laki yang pantas untuk diri mu. Saya lebih memilih Felia, dan jangan pernah mengganggu wanita milik saya lagi."     

"Oh ya? mentang-mentang sudah tidur bersama, tiba-tiba Felia berpredikat sebagai wanita kepemilikan dirimu? Lihat, sekarang siapa yang lebih rendah di bandingkan diriku?"     

Baru saja Azrell ingin menampilkan sebuah senyuman penuh kemenangan, ucapan Leo selanjutnya seolah-olah menyakiti dirinya.     

"Tapi setidaknya, dia wanita baik-baik tanpa memandang harta dan kekayaan saya. Tidak seperti mantan kekasih saya yang lalu, sibuk mengejar materi." balas Leo sambil menekankan kata 'mantan kekasih' pada ucapannya.     

Memang benar tidak ada mantan yang terbaik di dunia ini, sekalipun ada, pasti terselip satu pertanyaan; kenapa kalau terbaik harus menjadi mantan?     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.